Sebuah Kontemplasi (Part 1)
Pernahkah sesekali terlintas dalam pikiran bahwa ada orang ‘menyepelekan’ hanya karena mereka merasa tidak butuh bantuan kita. Tapi uniknya, tingkah mereka begitu bagus dan baik tatkala membutuhkan bantuan. Baik yang masih terkesan malu-malu hingga yang langsung ‘nyosor’. Ada yang tetap setia menjaga komunikasi dan ‘silaturahmi’. Bahkan ada yang super cuek awalnya dan tetiba sangat baik. Di ujung pembicaraan kita menjadi tahu seperti apa mereka.
Sayyidina Ali bin Abi Thalib pernah menyatakan bahwa: “Jika ingin tahu siapa sahabat kita maka tunggulah di saat ‘musibah’ menerpa bukan pada saat anugerah tercurah.” Mengapa sekelas sahabat utama Nabi sampai menyampaikan demikian? Karena sangat mudah mendapatkan senyuman dan perlakuan ‘indah nan mempesona’ tatkala kita di berada di ‘atas’ dan posisi nyaman. Menjadi berbeda ketika berada di ‘bawah’, untuk segala varian tentunya. Dus, perhatikan baik-baik dan jeli dalam mengamati, sesiapa yang konsisten menyertaimu dan sesiapa yang sekedar ‘lalu lalang’ menyapamu.
Banyak di antara kita yang mungkin memiliki teman dan orang dekat. Jumlahnya bisa puluhan bahkan ratusan. Tidak semua dari mereka mampu melangkah pada tahap lebih lanjut menjadi sahabat, bahkan sahabat sejati tempat berbagi di segala kondisi. Nilai ujian masing-masing mereka hanya mampu dijawab seiring berjalannya waktu. Apakah waktu sudah pasti mampu menjawab? Tentu tidak, jika kita sebagai subjek tidak pro aktif terlibat di dalam proses seiring waktu itu. Lama berteman bukan berarti menjadi jaminan kedekatan jika tanpa niatan yang baik bahwa tujuan pertemanan adalah untuk saling berbagi. Tentu dalam hal ini bukan melulu diartikan berbagi kebahagiaan. Dalam menjalani hidup, dinamika kehidupan manusia senantiasa terjadi. Bisa satu waktu kita bahagia dan dapat pula sebaliknya. Nah, dalam konteks ini kita menjadi dekat atau bahkan jauh dengan seseorang atau banyak orang. Entah status mereka sebagai siapa, mereka menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan kita.
Teman atau sahabat di sini tentu tak harus orang luar. Ia bisa mereka dalam lingkup internal keluarga. Orang luar bisa menjadi keluarga tapi bisa juga keluarga terkesan menjadi orang luar. Nabi Muhammad SAW pernah berpesan bahwa untuk mengetahui siapa kita bisa dicek melalui siapa teman atau sahabatnya. Ini menunjukkan bahwa memperhatikan siapa yang mesti menjadi teman atau sahabat kita, memiliki urgensi tersendiri. Memperhatikan perilaku, perkataan dan sikap teman kita menjadi penting dalam rangka tidak salah pilih tatkala kita hendak meningkatkan hubungan menjadi lebih intim. Intimasi dimana membuat kita merasakan (ny)aman berbagi. Intimasi ini tentu berhubungan dengan kontribusi dalam menjalani relasi yang ada. Khairunnas anfauhum linnas tentu masuk pula pada kebermanfaatan kita pada sesama tentu teman atau sahabat. Penting diingat jika kita ingin seseorang atau teman berlaku A pada kita, mestilah kita sendiri menjadikan A juga berlaku pada mereka. Bahasa sederhananya bila ingin teman berbuat baik, maka pastikan kita pun melakukan hal sama pada mereka. Simbiosis mutualisme. Bukan sebaliknya, simbiosis komensalisme atau bahkan lebih buruk lagi simbiosis parasitisme.
(to be continued)
SURABAYA
1 Februari 2015
Pukul 15.15 wib