Sebuah Kontemplasi (Part 2)
Saya menikmati keadaan sekarang. Berbisnis tetapi tetap bisa melakukan passion saya (mulai mengajar, travelling, menulis, berdakwah, trainer/motivator, dan satu ‘job’ keren tapi etikanya tidak boleh ditulis 😀 ) . Kalau menerima tawaran riset/survey juga dilihat dulu mulai topiknya, manfaatnya apa khususnya untuk diri pribadi dan tentunya sampai sekarang tawaran itu kerjanya tak terlalu lama habis itu honornya bisa buat ‘hibernasi’ berbulan-bulan.
Saya memang tidak cocok jadi pegawai/karyawan mungkin ya, sudah beberapa kali kerja umur paling panjang adalah saat bekerja di BS*. Teman-teman di sana baik-baik dan sampai sekarang tetap keep contact. Kalau ada yang nanyak: “Mas Tom sekarang kerja apa?” Saya sambil berseloroh menjawab: “saya itu pengacara mas/pak alias ‘pengangguran’ banyak acara.” Sambil tertawa tentunya. Saya suka dunia bebas tanpa kekangan. Berbuat dan berkarya as i want. Tentu memahami dan tak melanggar batas/norma sekeliling karena saya makhluk sosial bukan anti-sosial.
Saya pernah mengajar di beragam kampus dengan hampir beragam background dan berstatus ‘anak muda’. Lari dari satu kampus ke kampus lain. Mulai dari rekomendasi guru , kolega, atau diminta ‘membantu’. Maka banyak sebutan bermunculan. Mulai dari bapak, dosen, ustadz, gus, kiai, pembicara publik, motivator, trainer, da’i, surveyor, peneliti, analis dan masih banyak lagi. Saya berinteraksi dengan hampir banyak kalangan dengan background mulai kelompok ormas (NU, MD, Persis, Salafi, HTI, Tarbiyah), parpol (PKB, PPP, Golkar, PDIP, Demokrat, PKS, PKNU dan terakhir Perindo), dosen, peneliti, habaib, kiai, ustadz, anak muda, mahasiswa dan siswa. Dapat julukan bodoh, goblok, pintar, cerdas, kampungan hingga alim bahkan murtad-kafir. Semua pernah saya rasakan. Beberapa saya tulis di dua buku antologi yang sudah terbit. Apa yang menarik dari itu? Saya belajar banyak hal. Semua pihak yang saya temui adalah guru saya. Maka kalau berdoa tiap selesai sholat selalu menyebut dengan kalimat “siapapun yang memberikan informasi/pengetahuan baru semoga beliau diberkahi dan apa yang saya dapat jadi berkah dan nafi’”.
Sekarang usia sudah hampir mendekati kepala 3 tapi masih lama. Jikalau sedari SD hingga SMA saya seringkali berinteraksi dengan orang lebih ‘sepuh’, uniknya pasca kampus lebih banyak berinteraksi dengan junior. Pada banyak kasus seringkali membawa problem. Tapi berusaha menikmati. Entah rahasia apa dibalik takdir yang saya jalani. Pernah menjalin hubungan serius sejak SMP, kecewa saat SMA dan ‘menangis’ karena jalan takdir saat kuliah hingga hampir pernah mencoba bunuh diri. InsyaAllah kalau guru resmi dari SD hingga lulus kuliah masih segar dalam ingatan. Doa untuk beliau mengalir. Sebagian besar masih aktif berinteraksi terutama yang memiliki akun Facebook. Bahkan bisa punya “keluarga” baru gegara Facebook. Saya kira tak perlu disebut siapa saja mereka.
Bahkan gegara Facebook dan twitter menjadi dekat dan kenal beberapa ‘pejabat’ dan ‘tokoh’ tapi suka takut untuk lebih intens berinteraksi. Tapi selalu mendapat banyak ‘hal’ dari interaksi itu. Satu yang selalu saya tolak kalau di beragam ponpes yang saya kenal dekat pengasuh atau ketuanya meminta saya jadi ‘ustadz’ dalam pengertian pondok pesantren. Jawaban klise saya selalu sama: “Maaf saya ini kan ‘santri abadi’ toh mosok disuruh mengajar urusan akherat.” Sembari senyum yang dibuat senatural mungkin.
Saya itu bisa sangat ramai dan ‘cerewet’ tapi bisa sebaliknya hingga pernah membuat kolega heran karena 3 hari 3 malam tak keluar kamar tanpa aktivitas lain termasuk makan dan minum. Lucu saja kalau sudah berada pada posisi tersebut. Kalau saya bilang pernah melakukan semua perbuatan dosa kecuali membunuh (hanya hampir saja karena saking kesalnya tapi tidak jadi) banyak yang heran. Tapi yang pernah menyaksikan dan ‘dekat’ pasti tahu seperti apa saya. Prinsip saya hanya satu: “lebih baik jadi mantan pecundang dan penjahat daripada bekas orang baik/alim.”
Baiklah, kita sudahi dulu proses mengenal dan berkontemplasinya. Lain waktu kita sambung kembali. Tak mudah menulis artikel ini karena artinya saya ‘lumayan terbuka’ pada publik. Tapi lebih baik begitu kan? Ada rasa (ny)aman setelah menuliskannya. Awalnya mau disimpan di ‘diary’ tapi sekaligus latihan karena belum menemukan ide lain untuk dituangkan. Semoga bermanfaat.
PUCANG,
Jumat, 13 Februari 2015
Pukul 19.00 WIB