Kali ini, melalui laman pribadi ini, saya ingin sedikit berbagi kepada para jamaah internet-iyah di mana pun Anda berada. Tema kita adalah salah satu kitab monumental dalam khazanah tasawuf Islam yaitu Al-Hikam, karya agung (magnum opus) Syekh Ibnu Atha’illah as-Sakandari, mursyid ketiga Thariqah As-Syadziliyah.
Beliau adalah ulama besar yang sangat produktif. Tak kurang dari dua puluh kitab telah beliau tulis, meliputi bidang aqidah, tasawuf, tafsir, hadis, nahwu, hingga ushul fiqih. Namun dari sekian karya itu, Al-Hikam menempati posisi paling istimewa, sebuah panduan bagi para salik, para pejalan spiritual yang sedang mencari makna sejati penghambaan.
Kitab ini dikenal dengan gaya bahasanya yang padat dan dalam, penuh istilah suluk yang merujuk langsung kepada Al-Qur’an. Karena itu, Al-Hikam bukan bacaan ringan, tapi peta ruhani bagi siapa pun yang ingin melangkah menuju ridha dan surga Allah SWT.
Serial kajian ini saya susun berdasarkan syarah Syekh Al-Buthi, Kitab al-Hikam Atha’iyyah: Syarh wa Tahlil. Ia merupakan hasil belajar seorang faqir seperti saya dari berbagai pesantren dan sumber ilmu lain. Semoga bisa menjadi panduan kecil bagi kita para pejalan khususnya para “santri jalanan” yang rindu ingin dekat dengan-Nya.
Ketika Amal Tak Bisa Membayar Surga
Sahabat sekalian, ada hal penting yang sering kita lupakan dalam menjalani hidup dan ibadah bahwasanya surga tidak bisa dibeli dengan amal.
Nabi Muhammad SAW bersabda dalam Sahih Bukhari:
“Amal kalian tidak bisa membuat kalian masuk surga.”
Para sahabat bertanya, “Tidak juga engkau, ya Rasul?”
Beliau menjawab, “Tidak juga aku, kecuali karena rahmat Allah.”
Artinya jelas bahwa amal bukanlah “uang” yang bisa menebus surga. Kita beribadah bukan untuk membeli tempat di akhirat, melainkan karena ingin dicintai oleh Allah SWT.
Jadi, saat kita shalat, berpuasa, berzakat, atau bersedekah, niatkan semua itu hanya untuk mencari ridha-Nya, bukan sebagai tiket menuju surga. Sebab yang bisa menjamin surga hanya Allah, bukan amal kita.
Tanda Kita Bersandar pada Amal, Bukan pada Allah
Bagaimana kita tahu bahwa kita telah bersandar pada amal, bukan pada Allah?
Caranya sederhana yaitu lihat bagaimana hati kita saat berbuat dosa.
Jika ketika jatuh dalam kesalahan, harapan kita pada rahmat Allah berkurang, itu tanda bahwa selama ini kita lebih percaya pada amal daripada pada kasih sayang-Nya. Padahal, inilah akar yang bisa merusak akidah kita.
Sebagian orang mungkin akan protes,
“Bukankah surga memang untuk orang yang beramal saleh? Berarti amal itu upah kita, dong?”
Jawabannya jelas: tidak.
Upah dan jual beli hanya berlaku antar manusia, bukan antara hamba dan Tuhannya. Amal kita bukan hasil usaha pribadi semata. Siapa yang memberi kita kemampuan untuk shalat, sedekah, atau mengaji? Bukankah Allah sendiri yang menuntun hati kita untuk mau melakukannya?
Allah berfirman dalam QS. Al-Hujurat [49]:17:
“Mereka merasa telah memberi nikmat kepadamu dengan keislaman mereka. Katakanlah: Janganlah kamu merasa telah memberi nikmat kepadaku dengan keislamanmu, tetapi Allah yang melimpahkan nikmat kepadamu dengan menunjuki kamu kepada keimanan, jika kamu orang-orang yang benar.”
Tidak Ada Amal yang Layak Diandalkan
Maka, amal apa yang patut kita andalkan? Tak ada.
Yang bisa kita lakukan hanyalah berharap penuh pada rahmat dan anugerah-Nya.
Bahkan keyakinan bahwa “amal saya cukup untuk menjamin surga” bisa berbahaya. Sebab itu berarti kita menganggap amal berasal dari kuasa diri sendiri, bukan dari izin Allah. Jika demikian, seolah kita berkata, “Ya Tuhan, aku sudah beramal, kini beri aku surga yang jadi hakku.”
Padahal setiap muslim mengikrarkan “La haula wala quwwata illa billah” yang berarti tiada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah.
Ibnu Mas’ud menafsirkan kalimat itu:
“Tiada daya untuk menjauhi maksiat kecuali dengan perlindungan Allah, dan tiada kekuatan untuk taat kecuali dengan pertolongan Allah.”
Amal Itu Kesempatan untuk Bersyukur
Karena itu, setiap kali kita berbuat baik, ucapkanlah syukur, bukan rasa bangga.
Ketika bisa menegakkan shalat, katakan:
“Alhamdulillah, Ya Allah, Engkau telah memampukan hamba untuk menyembah-Mu.”
Ketika mampu bersedekah, ucapkan:
“Alhamdulillah, Engkau memberi rezeki agar aku bisa membantu hamba-hamba-Mu.”
Ada kisah menarik dalam hadis:
Kelak di hari kiamat, ada seseorang yang membanggakan amalnya. Ia berkata, “Ya Rabb, aku beramal saleh sepanjang hidupku, kini berikan hakku.”
Namun saat amal seumur hidupnya ditimbang dengan nikmat sepasang mata, ternyata nikmat mata jauh lebih berat.
Allah pun berfirman dalam QS. An-Nahl [16]:18:
“Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Antara Takut dan Harapan
Setelah memahami hal ini, kita harus menjaga keseimbangan antara khauf (rasa takut akan murka Allah) dan raja’ (harapan pada rahmat-Nya).
Keduanya ibarat dua sayap burung dimana jika salah satunya patah, perjalanan spiritual kita pun akan terhenti.
Mungkin ada yang bertanya,
“Kalau begitu, apa bedanya orang taat dan orang maksiat, kalau sama-sama tak bisa menjamin surga?”
Perbedaannya ada pada posisi hati.
Sebagai hamba, kita taat bukan karena ingin surga atau takut neraka, tapi karena Allah memang layak disembah. Tugas kita hanyalah taat dan ikhlas, selebihnya biarlah Allah yang menilai.
Rabiah Adawiyah pernah berkata:
“Ya Allah, aku tidak menyembah-Mu karena takut neraka-Mu atau mengharap surga-Mu. Aku menyembah-Mu karena Engkau Tuhanku yang berhak disembah.”
Sebagian orang mengira ucapan Rabiah menyimpang, padahal justru di situlah letak kemurnian tauhid.
Menyembah karena surga berarti menjadikan surga sebagai tujuan, bukan Allah. Sedangkan surga hanyalah makhluk, bukan Tuhan.
Penutup: Hanya Allah, Bukan Amal
Menutup kajian singkat Ahad pagi ini, mari kita renungkan:
Beramallah sebaik mungkin, tapi jangan bersandar pada amal itu.
Sandarkanlah segalanya hanya kepada Allah SWT.
Sebab amal bukan alasan kita masuk surga,
tetapi justru bukti kasih sayang Allah yang memberi kita kesempatan untuk beramal.
#SekadarBerbagi
#SalamAKUBISA
Surabaya
– BM –
Santri Jalanan


Leave a Reply